Sebagai pendidik, Saya menyadari salah satu tugas dan tanggungjawab saya adalah menciptakan budaya positip di sekolah dengan cara menghilangkan atau mencabut gangguan-gangguan yang menghalangi proses pengembangan potensi murid.  Salah satu gangguan yang amat vital bagi saya, jauh sebelum mengikuti Pendidikan guru penggerak adalah memandang murid sebagai obyek pembelajaran. Murid harus selalu patuh atas apa saja yang sudah saya skenariokan untuk mereka tanpa saya tau apa yang sesungguhnya yang mereka harapkan dari saya sebagai guru. Dengan paradigma seperti itu, sudah barang tentu murid tidak akan pernah berkembang potensinya. Murid hanya mengikuti ritme yang sudah guru rancang walau sesungguhnya hal itu mungkin tidak diinginkan.

“Lakukan hal-hal baik sekecil apapun dalam hidupmu sesering mungkin, maka kau akan mewujud menjadi pribadi yang hebat di masa depan”

Setelah hamper dua bulan lebih berada dalam komunitas calon guru penggerak Angkatan 5, khususnya setelah mempelajari modul tentang pentingnya budaya positip di sekolah, saya semakin menyadari makna guru menghamba pada murid. Bahwa murid bukanlah obyek pembelajaran, tetapi mereka adalah subyek pembelajaran yang harus kita hargai, harus kita dengar keinginan dan harapan-harapannya. Dan semua itu amat sesuai dengan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Saya semakin menyadari, Sebagai pendidik hal yang paling penting bagi saya adalah perlunya menghilangkan rasa takut dalam diri murid-murid sehingga mereka merasa aman dan nyaman berada di sekolah, dan bahwa membuat kesalahan adalah suatu proses pembelajaran itu sendiri. Membuat keyakinan kelas yang berpihak pada murid dengan tidak memberikan hukuman atau penghargaan serta mengambil posisi kontrol sebagai manajer bagi murid. Hanya dengan demikian, semua murid dapat belajar dengan rasa tenang, tanpa tekanan dan nyaman.

Sebagai pemimpin pembelajaran, saya akan berkolaborasi berbagai komunitas praktik yang ada di sekolah, dengan rekan kerja untuk mewujudkan budaya positip di sekolah. Hal ini sudah barang tentu bisa terlaksana jika visi dan misi yang dibangun bersama semua stakeholder sekolah. adanya kesepahaman diantara para pendidik serta kemandirian para pendidik itu sendiri juga merupakan hal  amat dibutuhkan.

Banyak hal menarik setelah mempelajari modul ini dan diluar dugaan, terutama pada konsep tentang teori kontrol, pemberian hukuman dan penghargaan serta segitiga restitusi. Saya lebih bisa menempatkan diri sebagai pendidik hubungannya dengan kebutuhan murid ketika mempelajari teori kontrol dan memahami posisi kontrol yang baik dalam melayani murid yaitu sebagai manajer. Konsep Hukuman dan penghargaan, pada awalnya saya yakini sebagai sesuatu yang bisa mengontrol murid dan menjadikan murid menjadi lebih baik, ternyata setelah mempelajari modul ini, hal tersebut adalah ilusi. Bahwa ada motivasi tertentu yang menyebabkan perilaku murid bukan hanya karena hukuman ataupun penghargaan. Dan lebih bermakna bagi saya adalah konsep dalam tahapan segitiga restitusi sebagai suatu pendekatan menangani murid yang memiliki kendala agar bisa kembali ke kelompoknya dengan karakter yang lebih kuat.

Perubahan cara pandang saya terhadap perilaku murid yang bisa saya kendalikan dengan menerapkan hukuman dan reward serta posisi kontrol saya terhadap murid itu sendiri. Awalnya saya berpikir bahwa dengan hukuman dan penghargaan, murid bisa saya kendalikan dan bisa lebih disiplin ternyata semuanya salah setelah mempelajari modul ini. Begitu juga posisi kontrol saya, sebelumnya saya berpikir bahwa dengan menempatkan diri sebagai pemberi hukuman dan pembuat merasa bersalah akan memberikan efek jera sehingga murid menjadi lebih baik, ternyata tidak begitu setelah saya mempelajari modul 1.4 ini.

Pada saat saya menerapkan tiga tahap dalam segitiga restitusi siswa mendapatkan pengalaman yang sangat menarik bahwa siswa merasa lebih terlayani dengan baik dan merasa tidak “direndahkan” atau dicabut kemerdekaannya. Siswa menyadari dan dengan tulus mampu memahami kesalahannya serta merekapun tau bagaimana seharusnya mereka bersikap selanjutnya. Menurut saya, inilah yang seharusnya dikedapankan, melayani tanpa merendahkan harkat dan martabat siswa. Senada dengan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa murid bukanah obyek tetapi mereka adalah subyek dalam pembelajaran.

Saya sangat senang sekali dan berusaha untuk terus mencoba konsep-konsep ini dalam melayani murid. Pada saat menerapkan segitiga restitusi dampaknya sangat bagus bagi murid. Murid mampu menemukan dan menyadari kesalahannya tanpa merasa direndahkan oleh guru. Menurut saya tahapan dalam segitiga restitusi mulai dari menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan sudah sangat bagus tinggal bagaimana kita membangun komunikasi yang efektif dengan murid.

Sebelum mempelajari modul ini, posisi kontrol yang sering saya gunakan adalah pembuat merasa bersalah. Saya merasa senang karena telah menunjukkan kepada murid bagaimana seharusnya mereka bersikap sehingga tidak salah untuk di kemudian hari. Setelah mempelajari modul ini, posisi kontrol yang sering saya gunakan adalah sebagai manajer. Saya merasa senang karena anak bisa menyadari kesalahannya dan bisa memahami apa yang seharusnya murid lakukan. Rasa senang saya alami sebelum dan sesudah mempelajari modul ini bedanya sebelumnya dengan sesudahnya adalah jika sebelumnya rasa senang saya telah membuat siswa merasa bersalah dan terkesan “menjatuhkan” harkat murid, sesudah mempelajari modul ini, rasa senang saya tanpa diliputi perasaan bersalah pada murid karena murid menemukan sendiri dan menyadari kesalahannya dan tidak ada kesan “menjatuhkan” harkat da martabat murid.

Sebelum mempelajari modul 1.4 tentang budaya positip, saya belum pernah menerapkan segitiga restitusi karena memang belum tau konsep segitiga restitusi. Pengalaman dalam menerapkan segitiga restitusi  yaitu menangani siswa yang terlambat dan bermain HP saat ada temannya presentasi merupakan hal yang pertama kali saya lakukan setelah mempelajari modul 4.1 ini.

Menurut saya penting juga memahami tentang cara membangun komunikasi yang efektif dalam menciptakan budaya positip di lingkungan kelas maupun lingkungan sekolah. Konsep membangun komunikasi yang efektif menurut saya perlu ditambahkan dalam menciptakan budaya positip agar semua stakeholder yang ada di sekolah bergerak bersama untuk mewujudkannya.(*)